Dekat Allah bukan karena miskin, jauhnya pun bukan akibat kaya
la bin
Ziyad Al-Haritsi adalah konglomerat besar yang hidup pada masa pemerintahan Ali
bin Abi Thalib. Ia tinggal di kota Bashrah. Hampir semua penduduk kota
mengenalnya, karena mudah dikenali ciri-cirinya. Rumahnya mewah, pakaiannya
wah, dan kendaraannya luar biasa.
Suatu
hari, Ali bin Abi Thalib berkunjung ke Bashrah. `Ala yang dikenal kaya raya
meminta agar Khalifah berkenan untuk mengunjungi rumahnya. Ia berpikir bahwa
khalifah yang menguasai hampir separoh dunia itu sangat layak untuk dijamu di
rumahnya. Sesampai di rumah `Ala, Amirul Mukminin sangat kagum melihat
kemewahan rumahnya. Ia sendiri hanya tinggal di rumah sederhana layaknya rakyat
biasa.
Setelah puas memandang interior rumahnya, Ali bin Abi
Thalib menghampiri tuan rumah, sambil berkata: “Wahai `Ala, apa untungnya
memiliki rumah sebesar ini, padahal engkau memerlukan rumah yang lebih besar
dan lebih mewah kelak di akherat?” Pertanyaan Ali tidak bisa dijawab oleh `Ala.
Pada mulanya ia berpikir bahwa sang khalifah hanya layak dijamu di istananya
yang mewah dan megah itu, tapi ternyata sang khalifah bukanlah “orang dunia”.
Ia tidak memandang dunia lebih dari sayap nyamuk. Kekuasaan yang digenggamnya
tidak lebih dari sekadar sarana untuk beribadah kepada Allah dengan cara
melayani makhluq-makhluq-Nya, yang bernama manusia.
Ia menguasai dunia, tapi tidak dikuasai dunia. Melihat perubahan
mimik dan perwajahan tuan rumah, Ali bin Abi Thalib segera dapat menangkapnya.
Apalagi sebelumnya ia telah mengetahui bahwa tuan rumah mendapatkan kekayaannya
melalui jerih payahnya sebagai saudagar, bukan dari hasil KKN. Oleh karenanya,
Khalifah Ali segera menyampaikan pesannya: “Wahai `Ala, engkau bisa menjadikan
rumahmu yang besar ini sebagai kendaraan yang akan mengantarkanmu pada rumah
yang lebih besar di akhirat kelak” Betapa gembiranya tuan rumah mendengar
pernyataan khalifah yang bijak itu. Ia segera menyambutnya dengan pertanyaan: “
Bagaimana caranya, wahai Amirul Mukminin?” Ali menjawab: “Engkau buka rumahmu
ini untuk para tamu yang menghajatkannya, ikat silaturrahmi di antara kaum
Muslimin, bela, dan tampakkan hak-hak kaum Muslimin di rumahmu, jadikan rumah
ini sebagai tempat pemenuhan hajat saudara-saudara sesama Islam, dan jangan
batasi hanya untuk kepentingan dan keserakahan dirimu semata-mata.”
Puas
dengan pernyataan dan jawaban Khalifah, tuan rumah memanfaatkan kesempatan
langka itu untuk mengajukan permasalahannya yang lain. Ia bertanya: “Wahai
Amirul Mukminin, aku mempunyai seorang saudara. Dia telah mengubah total cara
hidupnya. Dia sekarang hanya berkhalwat di tempat-tempat sunyi, berpakaian
kumuh, meninggalkan pekerjaan, bahkan menelantarkan keluarganya. Saudaraku yang
bernama `Ashim bin Ziyad Al-Haritsi ini selalu mengatakan: `Semua itu aku
lakukan semata-mata hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.' Apakah
sikap dan perbuatan saudaraku itu benar?”
Ali bin Abi Thalib meminta agar `Ashim dihadirkan ke
hadapannya. Di depan `Ashim, khalifah berkata agak kasar, “Wahai `Ashim, orang
yang telah memusuhi dirinya sendiri! Sungguh setan telah memperdaya akalmu.
Mengapa engkau telantarkan anak dan istrimu dengan alasan ingin mendakatkan
diri kepada Allah?” “Apakah kau kira bahwa Allah yang menciptakan alam semesta
beserta seluruh kenikmatannya itu tidak rela jika kau gunakan kenimatan itu
secara tepat? Demi Allah, tidak begitu cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah!” Merasa terpojok, kemudian `Ashim menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku
lakukan semua ini semata-mata karena ingin meniru kezuhudan dan kesahajaanmu.
Engkau hidup susah, akupun demikian. Engkau berpakaian kasar, akupun meniru.
Engkau cukupkan dengan makan sekeping roti, akupun mencontohmu. Engkau adalah
panutanku, wahai Amirul Mukminin.” Menghadapi jawaban `Ashim, Ali mencoba untuk
mengklarifikasi dan mendudukkan persoalan pada tempatnya. Ia berkata, “Wahai
`Ashim, aku berbeda dengan kamu. Aku memegang kekuasaan khilafah kaum Muslimin,
sedangkan kamu tidak. Di bahuku terpikul amanat yang amat berat, sedangkan kamu
tidak demikian. Aku mengenakan jubah kepemimpinan, sedangkan kamu adalah rakyat
yang aku pimpin.” “Tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah itu teramat
sangat berat. Allah mewajibkan para pemimpin untuk berbuat adil kepada setiap
rakyatnya, sedangkan rakyat yang paling lemah adalah standar bagi dirinya.
Seorang pemimpin selayaknya hidup seperti rakyatnya yang paling sederhana agar
tercipta solidaritas dan perasaan senasib seperjuangan. Oleh karena itu, di
bahuku ada kewajiban yang harus kutunaikan, sedangkan di bahumu ada kewajiban
lain yang harus engkau laksanakan.”
Kita
mengenal baik dua menantu Rasulullah Saw, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Yang satu kaya raya, sedangkan yang lain sederhana, jika tidak
boleh dibilang miskin. Kedua-duanya adalah kesayangan Rasulullah, bukan karena
kayanya atau karena sederhananya. Kedua memantu itu disayang Rasulullah karena
keshalihannya. Banyak orang kaya yang salah memandang kekayaannya, seperti
halnya banyak juga orang miskin yang salah dalam memandang kemiskinannya. Kaya
dan miskin adalah dua saudara kembar yang selalu ada dan menghiasi hidup di
dunia. Tidak ada yang bisa disebut kaya jika tidak ada yang miskin, demikian
juga sebaliknya. Al-Qur'an sendiri menyebutkan: “Dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka
mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71) Kaya dan miskin
merupakan rekayasa Ilahiyah, sebagaimana siang dan malam. Masalahnya bukan pada
kaya dan miskinnya, tapi bagaimana memandang harta tersebut. Tidak sedikit
orang kaya yang benar dalam memandang kekayaannya. Akan tetapi sebagian besar
yang lainnya persis seperti yang disitir oleh ayat di atas. Mereka tidak mau
berbagi hartanya kepada orang lain, terutama kaum fakir miskin. Tidak ada yang
berani membuat penilaian dan perbandingan antara Utsman bin Affan yang kaya
raya dengan Ali bin Abi Thalib yang sangat sederhana. Apakah Ali yang lebih
baik dari Utsman, atau Utsman justeru yang lebih baik dari Ali bin Abi Thalib.
Yang jelas, keduanya termasuk sepuluh sahabat yang dijamin Nabi Muhammad Saw
masuk dalam surga. Keduanya disayangi Rasulullah, bahkan kecintaannya
dibuktikan dengan mengambil keduanya sebagai memantunya.
Suatu
saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru kepada
seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang, sang Murid
akhirnya bisa berjumpa dengan guru yang dimaksud. Betapa kagetnya setelah ia
mengatahui rumahnya yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para
tetangganya, apakah betul bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana
yang direkomendasikan oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”. Lebih kaget lagi
setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan
yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar
yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh
perjalanan jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya
tersebut. Setelah menyampaikan
salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya. Betapa kagetnya
sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya
raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku
berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.” Bak disambar petir
di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada
gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia.
Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang,
tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya. Sesampai di
padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk
nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi
setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan
nasihat orang kaya raya tersebut.
Sang guru
akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu
memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian
indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak
karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai
dan lupa kepada Allah Swt. Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah
Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil
oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang
harta biasa-biasa saja. Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta
yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan
bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada
si sufi yang kaya raya tersebut.
Kepada
orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka
dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang
lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan
meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah
Swt. Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah
Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah Swt dengan tulus dan
ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan
dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk
tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang kaya dan orang miskin
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt.
Thank’s To http://fp.uns.ac.id
Tabarakallahu...
BalasHapus